Setelah saksi tergugat memberikan keterangan secara lengkap, para pihak akan membuat kesimpulan penutup yang didasarkan pada keadilan dan
kompleksitas masalahnya, baik secara lisan maupun tertulis. Setelah putusan dibuat dan hakim menjatuhkannya, panitera pengadilan akan memasukkannya ke dalam buku catatan mengenai putusan yang dijatuhkan oleh hakim dan semua perintah yang diputuskan oleh hakim sebagai ganti kerugian.
8. Penilaian Besarnya Kerugian.
Dalam kasus-kasus tertentu, termasuk tuntutan ganti rugi, hakim dapat memberi putusan didasarkan pada masalah tanggungjawab tetapi tidak membuat
aturan tentang ukuran yang tepat mengenai besarnya kerugian yang harus dibayar kepada pihak yang menang dalam proses litigasi. Dalam keadaan seperti ini, ukuran besarnya ganti rugi akan ditaksir oleh panitera dalam pemeriksaan di pengadilan. Panitera akan mendengar pembuktian dari pihak yang tepat, seperti orang yang dirugikan dan atau keterangan ahli terkait , untuk menentukan ukuran besarnya kerugian yang diderita. Pemeriksaan untuk menentukan kerugian mengikuti aturan yang sama tentang penggunaan laporan pemeriksaan sidang (proceedings) di persidangan sebelum sidang dimulai.
9. Pelaksanaan Putusan.

Putusan pengadilan yang sudah dijatuhkan oleh hakim dapat dilaksanakan melalui salah satu cara dari berbagai macam cara melaksanakan putusan, yaitu
dengan perintah untuk melaksanakan putusan melalui penyitaan dan pelelangan terhadap barang bergerak dan tidak bergerak.
10. Proses Banding (Appeal Process).
Dalam tahap banding, terdapat bentuk dan cara pemeriksaan banding yang berbeda dalam berbagai tingkat peradilan baik Supreme Court maupun
Subordinate Courts. Pada Supreme Court, pengajuan banding atas putusan yang dijatuhkan diajukan kepada hakim di pengadilan. Jika undang-undang
melarangnya, selanjutnya banding diajukan ke Pengadilan Banding (Court of Appeal). Banding terhadap putusan yang dijatuhkan oleh hakim High Court juga diajukan pada the Court of Appeal. Pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan High Court dapat mengajukan banding ke Pengadilan Banding jika nilai gugatannya melebihi S$ 250,000. Jika nilai gugatannya sebesar S$ 250,000. atau kurang diperlukan ijin dari pengadilan.
Dengan memperhatikan peraturan yang berlaku, jika pihak menghendaki mengajukan banding lagi pada hakim di High Court, harus menyampaikan ke
pengadilan secara tertulis alasan-alasan mengajukan banding dalam waktu 7 hari sejak putusan dikirimkan. Jika hakim memutuskan setuju untuk
mendengarkan/menerima alas-alasan tersebut, panitera pengadilan akan menyampaikan pada pihak yang mengajukan permohonan dalam jangka waktu 14
hari sejak diterimanya surat bahwa hakim menerima alasan-alasan pengajuan banding, jika setelah alasan-alasan banding diajukan, pihak tetap merasa tidak puas terhadap putusan hakim, maka dapat mengajukan banding ke Court of Appeal. Jika petugas pengadilan tidak mengirimkan dalam waktu 14 hari,
dianggap bahwa hakim telah menyatakan bahwa permohonan banding tersebut tidak disertai dengan alasan-alasan. Banding pada Supreme Court merupakan
proses pengadilan tingkat terakhir, persidangan pada tingkat banding terdiri dari 3 orang hakim banding.13
Pada Subordinate Court, yang terdiri dari Magistrate’s Court dan Distric Court, banding secara umum dapat diajukan dari Magistrate’s Court atau Distric Court kepada High Court (Pengadilan Tinggi). High Court memiliki kewenangan mengawasi dan memperbaiki terhadap putusan hakim pengadilan-pengadilan subordinate. Terhadap perkara yang diajukan banding, High Court dapat langsung melakukan pemeriksaan/mengadili sendiri perkaranya serta menjatuhkan putusan baru, atau menguatkan putusan yang sudah ada serta memastikan bahwa isi putusan sudah dapat dilaksanakan.14
III. Penutup
Singapura sebagai salah satu negara yang menganut sistem hukum common law, hukum acara perdatanya berbeda dengan Indonesia yang menganut sistem hukum civil law. Perbedaan ini sering kali dipertentangkan satu sama lain, misalnya saja dalam hal pembentukan hukum, pada sistem hukum civil law yang melakukan pembentukan hukum adalah pembentuk undang-undang (legislatif), sedangkan pada sistem hukum common law yang mempunyai peranan dalam pembentukan hukum adalah hakim melalui putusannya yang kemudian diikuti oleh hakim berikutnya berdasarkan asas precedent. Karena itu dalam sistem hukum acara common law dianut asas precedent sedangkan sistem hukum acara civil law (seperti halnya di Indonesia) tidak dianut asas tersebut, melainkan hanya menjadikan putusan hakim
terdahulu dapat dijadikan pedoman yang tidak mengikat (yurisprudensi) bagi hakim dalam memutus perkara yang sejenis.
Perbedaan lainnya adalah mengenai sumber hukum, dalam sistem hukum civil law sumber hukum yang utama adalah statutes (peraturan tertulis/undang-undang) baru kemudian disamping itu bersumber pada regulations (peraturan-peraturan) dan customs (kebiasaan), sedangkan dalam sistem hukum common law hukum bersumber pada tardition (adat istiadat), customs, dan precedent (putusan pengadilan).
Sistem pembuktian dalam hukum Singapura dengan sistem hukum common law bersifat terbuka, dalam arti untuk membuktikan kebenaran peristiwa di persidangan tidak terikat pada alat bukti yang telah ditentukan scara limitatif dalam undangundang, melainkan memperkenankan segala hal yang dapat dijadikan alat bukti boleh diajukan sebagai bukti ke pengadilan.
Berbeda dengan sistem pembuktian perdata di Indonesia dalam sistem hukum civil law, bersifat tertutup dalam arti sistem pembuktian perdata menurut HIR/RBg menentukan bahwa pembuktian baru sah apabila dilakukan dengan menggunakan alat bukti yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini Pasal 164 HIR yang mengatur alat bukti secara limitatif dan berurutan sebagai nberikut: surat, saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.
Oleh ; Efa Laela Fakhriah
alhamdulillah